FKD, 17/5/20, - Analis politik dari Universitas Negeri
Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun meragukan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
Denny JA yang mengusulkan pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala
besar (PSBB) mulai dari daerah sekitar DKI Jakarta.
Menurutnya, kesimpulan survei itu terlalu
dini dan sangat berbahaya karena kasus virus corona (Covid-19) di daerah-daerah
seperti DKI Jakarta, Bogor, Bandung, dan Bali masih fluktuatif dan berpotensi
muncul kasus yang baru.
"Terkait rilis LSI Denny JA terbaru
yang merekomendasikan pelonggaran PSBB patut diragukan," kata sosok yang
akrab disapa Ubed itu dalam keterangannya, Minggu (17/5).
Dia mencontohkan, daya tes PCR yang telah
dilakukan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada 15 Mei 2020 adalah 2.048 orang,
di mana dari jumlah tersebut sebanyak 1.065 tes dilakukan untuk menegakkan
diagnosis pada kasus baru. Hasilnya, ditemukan kasus baru sebanyak 116 positif.
Temuan ini bukan jumlah yang biasa.
"Jadi kesimpulan LSI Denny JA yang
menyarankan aktivitas sosial dan ekonomi di Jakarta bisa dilonggarkan itu bisa
menyesatkan dan berbahaya," katanya.
Terkait saran LSI Denny JA agar PSBB di
Kabupaten Bogor juga dilonggarkan, Ubed pun menilai menyesatkan dan berbahaya.
Menurutnya, LSI Denny JA tidak merujuk laporan mutakhir di Kabupaten Bogor
bahwa per tanggal 15 Mei 2020 zona merah Covid-19 di Kabupaten Bogor justru
terus bertambah.
Dia membeberkan berdasarkan laporan
terakhir tanggal 15 Mei 2020 dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
Kabupaten Bogor terdapat 20 kecamatan yang masuk dalam zona merah Covid-19.
Artinya zona merah di Kabupaten Bogor sedang terus bertambah.
Argumen menyesatkan LSI Denny JA lainya,
menurut Ubed, adalah menyarankan melonggarkan aktivitas di tengah pandemi
Covid-19 dengan merujuk negara-negara dengan fiskal kuat seperti Korea Selatan
dan Selandia Baru yang mulai mengendurkan lockdown.
Dia berpendapat LSI Denny JA tidak cermat
bahwa teknologi kesehatan dan disiplin warga di kedua negara tersebut jauh
lebih baik dibanding Indonesia, sehingga kedua negara berani mengambil
keputusan cepat untuk melakukan pelonggaran.
"Indonesia sarana teknologi kesehatan
dan disiplin masyarakatnya masih rendah," katanya.
Selain argumentasi yang lemah, dia juga
menilai, ternyata survei LSI Denny JA itu juga berbasis data sekunder dan
memakai metode kualitatif.
Jika dicermati, menurutnya, metode analisis
kualitatif yang dipakai LSI Denny JA tidak sesuai dengan kaidah-kaidah riset
kualitatif yang sebenarnya. Hal ini yang membuat bias konfirmasi.
"Harusnya LSI lakukan pendalaman
analisis dengan sumber primer. Misalnya dengan virolog (ahli virus), ahli
epidemologi, atau ahli medis yang berkaitan dengan penyebaran virus, survei
lapangan langsung yang komprehensif. Ini kesanya terburu-buru mengejar
target," tutur Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and
Law Studies (CESPELS) itu.
Sebelumnya, LSI Denny JA mengusulkan
pemerintah melonggarkan PSBB mulai dari daerah sekitar DKI Jakarta. Usul itu
menjadi salah satu simpulan dari riset berjudul 'Indonesia Kembali Bekerja:
Lima Kisi-kisi'.
Peneliti LSI Denny JA Ikram Masloman
mengatakan pelonggaran PSBB bisa dilakukan mulai dari daerah-daerah yang sudah
mengalami penurunan tambahan jumlah kasus.
"Pertama, dimulai dengan daerah yang
grafiknya mulai menurun, rekomendasi kami adalah lima daerah berikut, DKI Jakarta,
Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Bandung Barat, dan Provinsi Bali," kata Ikram
dalam rilis survei yang disiarkan langsung via aplikasi Zoom,